Strategic positioning Indonesia
Sebuah kisah tentang baterai ABC Alkaline. ABC Alkaline yang telah diekspor ke berbagai negara ini, telah diuji secara teknis memiliki kualitas yang bagus. Terbukti dari diekspornya ke berbagai negara, diantaranya oleh pemegang merek lain. Pemegang merek ini memesan baterai kepada produsen baterai ABC, dan kemudian diberi merek mereka (toll/loan manufacturing) . Jadilah ABC Alkaline ini berbaju merek kompetitor.
Kasus di atas hanyalah salah satu contoh produk kita yang mengalami nasib buruk. Meskipun kualitasnya secara teknis bagus (objective quality), tetapi di lapangan menunjukkan kenyataan yang berbeda. Ternyata tulisan Made in Indonesia merupakan beban tersendiri. Jangankan dalam rangka menembus pasar manca negara, di dalam pasar domestik pun mereka dianaktirikan. Konsumen Indonesia masih menganggap rendah produksi buatan negeri sendiri. Produk-produk buatan dalam negeri memiliki perceived quality yang rendah di mata konsumen Indonesia. Ironis memang. Kenyataan ini sangat berlawanan dengan yang terjadi di Korea Selatan, ketika secara obyektif kualitas produk mereka belum tinggi.
Kualitas yang dipersepsikan oleh konsumen (perceived quality) dalam konteks pemasaran seringkali lebih penting daripada kualitas teknis yang sesungguhnya (objective quality). Karena berdasar persepsi inilah konsumen mengambil keputusan pembelian. Masalahnya tidak semua konsumen adalah ahli dalam bidang mutu untuk suatu produk, apalagi mempunyai waktu lebih untuk mengujinya. Terutama untuk produk-produk konsumsi, konsumen akan menyederhanakan penilaian kualitas suatu produk. Diantaranya adalah harga dan country of origin. Semakin rendah pengetahuan konsumen tentang suatu produk, semakin besar kecenderungan untuk menyederhanakan. Misalnya yang menyangkut hubungan antara harga dan persepsi kualitas. Konsumen yang dangkal pengetahuannya tentang suatu produk akan semakin mudah menggeneralisasi harga tinggi kualitas tinggi dan harga rendah kualitas rendah. Semakin tinggi harga sebuah produk, makin tinggi pula persepsi kualitasnya.
Asal negara juga menjadi salah satu pertimbangan untuk mengasosiasikan dengan kualitas, sebagai bagian penyederhanaan pengambilan keputusan konsumen berkaitan dengan kualitas. Misalnya untuk produk elektronik konsumen Indonesia akan menunjuk produk-produk buatan Jepang sebagai produk yang memiliki kualitas terbaik, produk Korea berada di tempat berikutnya, dan produk Cina diasosiasikan produk murah meriah. Padahal banyak merek-merek Jepang sudah memproduksi di Indonesia, Cina atau lebih tepatnya hibrid, karena acap komponennya berasal dari berbagai negara.
Bagaimana persepsi konsumen Indonesia terhadap produk elektronik Indonesia ? Persepsi kualitas terhadap produk Indonesia secara umum rendah. Tapi apakah yang disebut sebagai produk Indonesia. Karena Sony, LG, JVC, Yamaha dan masih banyak lainnya mempunyai pabrik di Indonesia. Sehingga yang terpenting adalah asosiasi konsumen terhadap asal negara sebuah merek, bukan produknya. Inilah mengapa Polytron yang diasosiasikan dengan merek yang berasal dari negara Eropa, walaupun dibuat di Kudus. Atau Cosmos yang mereknya diasosiasikan dengan Korea (Selatan), dan Sanken yang memakai tekonologi Jepang. Ini merupakan strategi yang tampaknya harus ditempuh oleh produsen elektronik Indonesia, agar diterima konsumen Indonesia. Sebagai pembanding, langkah serupa juga ditempuh Haier – merek Cina yang mengalami nasib serupa karena negerinya diasosiasikan sebagai produk murah meriah – dengan mengatakan sebagai teknologi Jerman.
Asosiasi khalayak global terhadap Indonesia jangan sampai minor, karena akan menjadi beban bagi pemasar dan mengakibatkan berkurangnya competitive advantage produk Indonesia. Sebaliknya jika dikelola dengan baik justru akan menjadi sumber daya saing. Perlu perhatian khusus mengenai nama ‘Indonesia’ sebagai country of origin yang biasanya dihubungkan dengan perceived quality dari suatu produk, maupun Indonesia sebagai sebuah ‘merek’. Dalam persepsi khalayak konsumen global tiap negara diasosiasikan dengan atribut-atribut tertentu yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Misalnya Jerman diasosiasikan dengan produk-produk berkualitas tinggi, tetapi harga produknya mahal. Korea dipersepsikan sebagai negara penghasil produk murah, tetapi kualitasnya tetap terjaga. Sedangkan jika mengharapkan produk yang benar-benar murah, produk dari Cina merupakan pilihan yang layak diprioritaskan. Nah, diantara asosiasi-asosiasi yang melekat pada masing-masing negara, dimanakah kita ingin menempatkan diri dalam benak konsumen ? Atau dalam bahasa yang lebih mudah ingin dikenal sebagai negara penghasil produk yang bagaimanakah kita?
Di sektor pariwisata, Paris merupakan contoh yang baik bagaimana sebuah kota memiliki identitas dan menjadi merek yang kuat dan dapat membantu proses pemasaran. Atribut yang ditonjolkan adalah romantisme dan keindahan. Dalam memasuki persaingan global, identitas merek suatu negara sebagai ujung tombak yang bersentuhan dengan khalayak konsumen, perlu mendapat perhatian khusus. Identitas merek Indonesia inilah yang menjadi wakil negara kita di dalam benak konsumen. Nama negara kita mempunyai sebuah ‘file’ yang tersimpan di dalam otak konsumen, yang terdiri dari konfigurasi kata, citra, ide dan segala asosiasinya di benak konsumen. Ketika bom meledak di Bali, barangkali kata teror menjadi salah satu atribut yang diasosiasikan oleh khalayak global.
Keunikan Indonesia sebagai file yang berisi asosiasi-asosiasi ini mencerminkan bagaimana nama negara kita berada dalam jajaran ‘file-file’ (nama-nama negara lain) tersebut lainnya di benak konsumen. Dalam file tersebut suatu nama negara diasosiasikan dengan sejumlah atribut yang diasosiasikan oleh konsumen. Jika Turki dalam program pariwisatanya menonjolkan atribut craddle of civilization, sudah jelas bahwa keunikan yang ditonjolkan adalah keagungan peradaban masa lalu dan wisatanya berkaitan dengan peninggalan arkelogis hasil pertemuan peradaban Barat dan Timur. Jika Malaysia menyatakan diri sebagai Trully Asia, maka mereka menyatakan bahwa di Malyasia-lah orang menemukan Asia yang sebenarnya, karena selain budaya Melayu, juga terdapat budaya Cina dan India.
Di tahun penuh gejolak ini kita harus membawa dunia usaha Indonesia lebih eksis di pasar global. Keunikan seperti apakah yang kita tonjolkan untuk masing-masing sektor, sehingga benar-benar menjadi identitas yang kuat dan benar-benar berbeda dengan negara lain. Dimanakah kita seharusnya berdiri diantara keunikan-keunikan yang ditawarkan negara-negara lain ?
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam memilih posisi negara kita. Pertama posisi ini memang benar-benar unik yang dapat menjadikan pembeda dari negara lain, sekaligus mencerminkan kekuatan negara kita yang sebenarnya. Kedua posisi yang diambil harus dirasakan penting bagi khalayak sasaran, sesuai dengan kebutuhan mereka dan mencerminkan competitive advantage negara kita. Dan terakhir harus dapat dikomunikasikan secara jelas.
Dalam situasi citra dan reputasi Indonesia yang sedang terpuruk ini, harus dilakukan upaya proaktif. Karena sesungguhnya positioning ditentukan oleh khalayak, dan kita hanya dapat melakukan positioning prompt. Sikap pasif akan menggiring negara kita di-positioning-kan oleh komunitas global, dalam posisi yang tidak menguntungkan. Selama ini awareness terhadap Indonesia sangat rendah. Jangan sampai negara kita tiba-tiba menjadi terkenal, tetapi justru karena diasosiasikan dengan teroris. Perlu dibangun sebuah komunikasi pemasaran Indonesia yang dilandasi oleh strategic positioning yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar